Selamatkan Siswa dari Pertikaian Pejabat
KETENANGAN belajar 217 siswa SDN 07 Kota Pontianak, Kalbar terusik kembali. Kekhawatiran kehilangan tempat belajar mencuat, seiring surat Gubernur Kalimantan Barat Drs Cornelis MH kepada Wali Kota Pontianak dr H Buchary Abdurrahman tertanggal 13 Agustus 2008.
Sengketa tanah antara Pemprov Kalbar dengan Pemko Pontianak menjadi titik nadir bagi kelangsungan belajar-mengajar siswa SD yang umumnya tinggal di seputar sekolah. Secara juridis, tanah HPL seluas 7.583 meter persegi di Jl Trunojoyo, Benua Melayu Darat Pontianak Selatan itu sah milik Pemprov Kalbar.
Wali Kota Pontianak telah memahami statuta kepemilikan ini, meski beberapa tahun lalu sempat merasa berhak atas tanah bersertifikat HPL Nomor 1 Tahun 1981 itu. Bukti berita acara serah terima satuan kerja dan berita acara serah terima aset tanah eks milik asing, tidaklah bisa dijadikan dasar kepemilikan.
Itu sebabnya, wali kota mengajukan permohonan hibah dalam beberapa suratnya kepada gubernur. Namun, permintaan ini tidak bisa diluluskan. Selain Pemprov Kalbar telah menunjuk pengelolaan tanah HPL kepada swasta, perjalanan penarikan aset Pemprov berlangsung relatif kurang lancar.
Ketika gubernur masih dijabat Usman Ja’far, telah dibuat surat Keputusan Gubernur Kalbar Nomor 409 Tahun 2006, 20 Junli 2006 lalu. Isinya, Pemprov Kalbar menetapkan Dr H Oesman Sapta sebagai penerima penunjukan Hak Guna Bangunan (HGB) atas tanah tersebut selama 20 tahun.
Tentu pengelolannya sesuai peruntukan tanah, yaitu sebagai sarana pendidikan/bidang pelatihan dan restoran (kepariwisataan), sekaligus tempat tinggal. Oesman Sapta telah diwajibkan membayar retribusi dan konpensasi sekitar Rp 1 miliar.
usman ja’far serahkan jabatan
Nilai dan ketentuan pemakaian aset daerah ini diatur dalam Perda Nomor 2 Tahun 2000 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah. Kewajiban membayar retribusi dan konpensasi ini dilaksanakan paling lambat dua pekan, setelah perjanjian ditandatangani kedua pihak.
Meski begitu, peralihan pengelolaan atas harta kekayaan Pemprov Kalbar ini, belum mematahkan semangat Pemko Pontianak untuk menguasainya. Oleh karena itu, wali kota mengajukan surat hibah. Pembangunan gedung baru terus dilakukan.
Gubernur akhirnya membuat teguran, dan minta wali kota menghentikan pembangunan fisik apapun di atas tanah HPL milik Pemprov, 31 Agustus 2007. Inilah sengketa yang melatari pengelolaan tanah HPL hingga melahirkan surat perintah pembongkaran semua bangunan yang ada.
Artinya, 217 siswa berikut 13 guru yang ada akan kehilangan tempat belajar-mengajar. Kapan waktunya, tentu bergantung sikap bijak wali kota maupun gubernur. Hukum niscaya ditegakkan, tetapi nasib siswa dan guru juga tak boleh diabaikan.
Tak seorang siswa maupun guru mau kehilangan kesempatan menimba ilmu. Sebaliknya, tak seorang pun warga negara dibenarkan, asal menempati tanah yang bukan haknya. Kearifan wali kota melepas pengelolaan tanah HPL Pemprov, dan mencarikan tempat baru untuk belajar-mengajar SDN 07, menjadi solusi terbaik dalam penyelenggaraan pemerintahan.
walikota buchary
Jika secara juridis memang tak didukung bukti formil dan materiil, tak ada alasan lagi mempertahankan. Membiarkan sengketa berlarut-berlarut, tentu bukan pendidikan hukum yang baik bagi masyarakat. Di sinilah sikap arif dan bijaksana dalam tata kepemerintahan diuji.
Eksistensi sekolah urgen dicarikan lahan dan bangunan pengganti. Jangan sampai mereka ditempatkan sebagai tameng dalam sengketa. Siswa SD belum mampu memahami masalah hukum yang terjadi, mereka hanya memerlukan tempat belajar yang baik, bersih dan berkualitas. Mereka risau jika kehilangan tempat belajar yang notabene lokasinya tak jauh dari tempat tinggalnya.
Pemprov yang telah menunggu hampir dua tahun terakhir, perlu sedikit sabar. Kesinambungan proses belajar-mengajar berikut sarana dan prasarana SDN 07 memang menjadi tanggungjawab Pemko Pontianak. Namun, akan kontraproduktif, jika pembongkaran dilakukan serta merta.
Perlu penyiapan matang merelokasi sekolah. Dan, ini akan lebih baik, jika ada musyawarah antara Pemprov dan Pemko yang mengutamakan kepentingan siswa atau masyarakat.
Saatnya kita bersikap dan bertindak menggunakan nurani. Dengan begitu, kita mampu menyadari kekhilafan dan kesalahan yang telah terjadi, termasuk menempati tanah HPL yang bukan hak. Membuat anak didik Pontianak pintar adalah kewajiban yang tersurat dalam UUD 1945, tapi membuat hukum tegak dan pasti, tak ada tawar-menawar dalam negara hukum kita.Label: hubungan